Senyapnya Budaya, Kuatnya Kuasa: Mengurai Akar Kekerasan Seksual di Tempat Kerja
Kekerasan seksual di tempat kerja bukan sekadar tindakan individu, melainkan cerminan dari akar masalah sosial dan budaya yang lebih dalam. Memahami faktor-faktor ini krusial untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bermartabat.
1. Ketidakseimbangan Kekuasaan dan Norma Gender Patriarkal
Lingkungan kerja seringkali mereplikasi struktur sosial yang menempatkan satu gender (biasanya laki-laki) dalam posisi dominan. Hal ini memicu objektivikasi dan normalisasi perilaku tidak pantas terhadap gender yang dianggap ‘lebih rendah’, serta memberi ruang bagi penyalahgunaan wewenang oleh pelaku yang merasa superior.
2. Budaya Diam dan Normalisasi
Korban sering enggan melapor karena takut akan pembalasan, stigma sosial, atau khawatir karier mereka terancam. Kurangnya mekanisme pelaporan yang efektif, ditambah dengan anggapan bahwa ‘itu hanya bercanda’ atau ‘bagian dari interaksi biasa’, menciptakan iklim di mana kekerasan seksual dianggap sepele dan tidak ditindak serius.
3. Budaya Menyalahkan Korban (Victim Blaming)
Alih-alih fokus pada perilaku pelaku, seringkali pertanyaan justru diarahkan pada penampilan atau tindakan korban, seolah membenarkan terjadinya kekerasan. Pola pikir ini mengikis keberanian korban untuk bersuara dan memperkuat impunitas bagi pelaku, karena tanggung jawab dialihkan dari mereka.
Menghadapi kekerasan seksual di tempat kerja berarti harus menantang dan mengubah norma sosial serta budaya yang telah mengakar. Ini membutuhkan komitmen kolektif dari perusahaan, individu, dan masyarakat untuk membangun kesadaran, menegakkan kebijakan yang tegas, serta menciptakan budaya kerja yang menjunjung tinggi kesetaraan, rasa hormat, dan keamanan bagi semua.