Endemi: Kelelahan Jiwa dalam Normal Baru
Setelah gelombang pandemi mereda, dunia memasuki fase endemi. Ini bukan berarti ancaman penyakit hilang, melainkan berubah menjadi kehadiran yang konstan, menjadi bagian dari "normal baru" kehidupan. Namun, dampak kondisi endemi terhadap kesehatan psikologis publik seringkali terabaikan, padahal bebannya tidak kalah signifikan.
Tidak ada lagi kepanikan akut yang melumpuhkan seperti di puncak pandemi, namun justru muncul kelelahan mental berkepanjangan (pandemic fatigue). Masyarakat dipaksa untuk hidup dalam kewaspadaan yang terus-menerus, meski intensitasnya menurun. Hal ini memicu kecemasan laten – rasa khawatir yang tidak meledak, namun mengendap di bawah permukaan, terkait ketidakpastian masa depan, risiko penularan, atau potensi dampak jangka panjang pada kesehatan pribadi dan orang terdekat.
Pergeseran dari pandemi ke endemi juga menyebabkan ambiguitas risiko. Dulu, ancaman jelas dan responsnya seragam. Kini, risiko dianggap sebagai bagian hidup yang harus diterima, yang bisa memicu desensitisasi atau bahkan apatis pada sebagian orang. Di sisi lain, kelompok rentan atau mereka yang pernah mengalami trauma terkait penyakit mungkin terus hidup dalam ketakutan berlebihan, sulit beradaptasi dengan narasi "hidup berdampingan dengan virus."
Secara sosial, endemi dapat mengukuhkan perubahan interaksi dan isolasi yang terbentuk selama pandemi. Keengganan untuk bersentuhan fisik atau berkumpul mungkin menetap, memengaruhi ikatan sosial dan memicu rasa kesepian. Adanya stigma terhadap mereka yang sakit juga bisa terus ada, menambah beban psikologis.
Singkatnya, endemi bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan pergeseran ke medan perang psikologis yang berbeda: medan perang ketahanan dan adaptasi jangka panjang. Penting bagi kita untuk menyadari "beban senyap" ini dan memprioritaskan kesehatan mental sebagai bagian integral dari upaya kita menghadapi "normal baru" yang konstan ini.
