Otonomi Tersandung: Mengurai Benang Kusut Kewenangan Pusat-Daerah
Otonomi daerah, sebuah keniscayaan dalam tata kelola pemerintahan modern, seringkali dihadapkan pada tantangan pelik: konflik kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Alih-alih bersinergi, tarik-menarik interpretasi dan implementasi kebijakan kerap terjadi, menciptakan gesekan yang merugikan.
Konflik ini bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan sering berakar pada ambiguitas regulasi yang diterbitkan oleh pusat, perbedaan interpretasi atas undang-undang di tingkat lokal, hingga ego sektoral antarlembaga. Alokasi sumber daya, terutama terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD), serta kepentingan politik lokal-nasional juga turut memperkeruh suasana. Siapa yang berhak mengatur perizinan tambang? Siapa yang bertanggung jawab penuh atas infrastruktur pendidikan atau kesehatan tertentu? Pertanyaan-pertanyaan ini seringkali tanpa jawaban tunggal yang jelas.
Dampak dari gesekan ini tidak main-main. Pelayanan publik menjadi terhambat, investasi ragu, dan program pembangunan strategis dapat tersendat. Ketidakpastian hukum dan tumpang tindih kebijakan menciptakan inefisiensi birokrasi yang pada akhirnya merugikan masyarakat sebagai penerima manfaat utama.
Untuk mengurai benang kusut ini, diperlukan komitmen kuat dari kedua belah pihak. Harmonisasi regulasi, sinkronisasi program, dan dialog konstruktif menjadi kunci. Kejelasan batas kewenangan, disertai mekanisme koordinasi yang efektif, akan memastikan setiap level pemerintahan dapat fokus pada perannya masing-masing tanpa saling jegal. Tujuannya satu: memastikan otonomi daerah berjalan optimal demi kesejahteraan rakyat, bukan tersandera dalam labirin tarik-menarik kewenangan.