Lingkungan yang Membisukan Luka: Mengurai Akar Sosial Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) seringkali dianggap sebagai masalah personal yang hanya terjadi di balik pintu tertutup. Namun, pandangan ini menyesatkan. KDRT adalah fenomena kompleks yang sangat dipengaruhi dan diperparah oleh faktor-faktor lingkungan sosial yang membisukan korban dan memfasilitasi pelaku. Memahami akar sosial ini krusial untuk memutus rantai kekerasan.
Salah satu akar utama adalah budaya patriarki dan norma gender yang kaku. Di banyak masyarakat, konsep superioritas laki-laki dan kepatuhan perempuan masih mengakar kuat. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan, di mana laki-laki merasa berhak mengontrol pasangannya, sementara perempuan didorong untuk menerima perlakuan buruk demi "keutuhan rumah tangga" atau "menjaga nama baik keluarga." Norma ini seringkali menormalisasi perilaku kasar dan membuat korban enggan mencari bantuan karena rasa malu atau takut dihakimi.
Selanjutnya, ketimpangan ekonomi dan ketergantungan finansial berperan besar. Ketika salah satu pihak, terutama perempuan, sangat bergantung secara finansial pada pasangannya, ia akan sulit melepaskan diri dari hubungan yang abusif. Ancaman kemiskinan, kehilangan tempat tinggal, atau kesulitan menghidupi anak menjadi belenggu yang lebih menakutkan daripada kekerasan itu sendiri. Ini memberi kekuatan ekstra kepada pelaku untuk mengontrol dan memanipulasi korban.
Selain itu, minimnya edukasi tentang hak-hak individu, relasi sehat, dan manajemen konflik di masyarakat juga memperburuk keadaan. Kurangnya pemahaman tentang batasan dan bentuk-bentuk kekerasan (fisik, verbal, psikologis, seksual, ekonomi) membuat korban tidak menyadari bahwa mereka sedang mengalami KDRT, atau bahkan menganggapnya sebagai hal yang wajar.
Terakhir, lemahnya sistem dukungan sosial dan penegakan hukum yang belum optimal menjadi tembok penghalang. Stigma sosial yang melekat pada korban KDRT, proses hukum yang berbelit, serta kurangnya fasilitas perlindungan dan konseling yang memadai, membuat korban merasa sendirian dan putus asa. Masyarakat yang cenderung "tidak ikut campur" atau menyalahkan korban justru memperkuat isolasi mereka.
KDRT bukanlah aib keluarga semata, melainkan cermin retak dari lingkungan sosial kita. Untuk meningkatkan kasus KDRT, kita harus berani membongkar dan mengubah norma-norma sosial yang permisif terhadap kekerasan, memperkuat kesadaran dan edukasi, serta membangun sistem dukungan yang kokoh bagi para korban. Hanya dengan upaya kolektif, kita bisa menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari luka yang membisu.