Bukan Sekadar Kasus: Menguak Akar Sosial Budaya Kekerasan Seksual di Sekolah
Kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah bukan sekadar fenomena insidental, melainkan cerminan dari akar masalah sosial budaya yang mengendap. Tingginya angka kejadian menunjukkan bahwa institusi pendidikan belum sepenuhnya imun dari pengaruh negatif nilai-nilai di luar pagar sekolah.
Berikut adalah beberapa faktor sosial budaya kunci yang berkontribusi:
-
Budaya Patriarki dan Ketidaksetaraan Gender: Akar utama seringkali adalah sistem patriarki yang menempatkan laki-laki dalam posisi dominan dan perempuan (atau individu yang dianggap lebih lemah) sebagai objek. Ini menciptakan dinamika kuasa yang timpang, di mana pelaku merasa berhak dan korban merasa tak berdaya atau takut melapor.
-
Budaya Permisif dan "Victim Blaming": Lingkungan sosial yang menormalisasi perilaku merendahkan, lelucon seksis, atau bahkan sentuhan yang tidak pantas, dapat menciptakan "budaya permisif." Lebih jauh, ketika insiden terjadi, seringkali korban justru disalahkan (misalnya, karena pakaian, perilaku, atau keberadaannya), yang membuat korban enggan bersuara dan pelaku merasa aman dari konsekuensi.
-
Minimnya Edukasi Seksualitas Komprehensif: Kurangnya pendidikan seksualitas yang memadai dan komprehensif di sekolah maupun keluarga seringkali membuat siswa tidak memahami batasan tubuh, konsep persetujuan (consent), hak-hak seksual, dan cara melaporkan kekerasan. Ketidaktahuan ini menjadikan mereka rentan sebagai korban maupun pelaku yang tidak menyadari kesalahannya.
-
Tabu dan Budaya Senyap: Seksualitas masih menjadi topik tabu di banyak masyarakat Indonesia. Akibatnya, diskusi terbuka tentang kekerasan seksual, pencegahannya, atau cara penanganannya sangat minim. Hal ini menciptakan "budaya senyap" di mana korban takut melapor karena stigma, rasa malu, ancaman, atau kekhawatiran akan reaksi negatif dari lingkungan sekolah maupun keluarga.
-
Normalisasi Kekerasan dalam Media dan Lingkungan: Paparan terhadap konten media yang meromantisasi kekerasan, atau lingkungan pertemanan yang menganggap perilaku agresi seksual sebagai "candaan" atau "kejantanan," dapat mengikis empati dan menormalisasi kekerasan di benak sebagian individu.
Mengatasi masalah ini membutuhkan lebih dari sekadar penindakan hukum. Diperlukan perubahan paradigma budaya, edukasi yang masif dan berkelanjutan tentang kesetaraan gender dan hak asasi manusia, serta penciptaan lingkungan sekolah yang aman, suportif, dan bebas stigma bagi setiap individu untuk bersuara dan dilindungi.