Demokrasi Bertumbuh: Antara Harapan Pemilu dan Gejolak Kerakyatan
Negara-negara bertumbuh seringkali menjadi laboratorium dinamis bagi eksperimen demokrasi. Di satu sisi, ada harapan besar akan partisipasi rakyat melalui pemilu yang bebas dan adil. Di sisi lain, realitas politik yang kompleks kerap menciptakan "kerakyatan" dalam bentuk yang berbeda, kadang bergeser ke populisme atau bahkan otokrasi terselubung.
Gaya Pemilu: Pesta Demokrasi yang Penuh Dinamika
Gaya pemilu di negara-negara bertumbuh bukan sekadar prosedur teknis, melainkan cerminan budaya politik yang kaya. Kampanye seringkali sangat personal, berpusat pada figur karismatik ketimbang program partai. Politik identitas, baik etnis, agama, maupun regional, sering menjadi pemicu utama mobilisasi massa. Peran uang dalam politik juga signifikan, seringkali memengaruhi integritas proses. Dengan penetrasi media sosial yang masif, disinformasi dan polarisasi menjadi tantangan nyata, meski teknologi juga membuka ruang partisipasi baru bagi kaum muda. Antusiasme partisipasi pemilih sering tinggi, namun prosesnya kadang dibayangi oleh kelemahan institusional, sengketa, atau bahkan kekerasan.
Kerakyatan: Antara Kedaulatan Rakyat dan Populisme yang Menggoda
Idealnya, kerakyatan berarti kedaulatan di tangan rakyat, di mana suara setiap warga negara dihargai dan diwakili. Namun, di banyak negara bertumbuh, konsep ini kerap bergeser ke arah populisme. Pemimpin karismatik muncul dengan retorika "kita melawan mereka," mengklaim mewakili "suara rakyat murni" yang tertindas oleh elite atau sistem. Mereka seringkali menjanjikan solusi instan atas masalah kompleks seperti kemiskinan atau korupsi, sambil berpotensi melemahkan institusi demokrasi seperti parlemen, pengadilan, atau pers yang independen. Ini menciptakan dilema: suara rakyat memang didengar, namun seringkali melalui mekanisme yang mengikis prinsip-prinsip liberal demokrasi, berujung pada apa yang disebut "demokrasi illiberal" atau otorianisme terselubung.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Perjalanan demokrasi di negara-negara bertumbuh adalah maraton, bukan sprint. Institusi yang belum matang, korupsi endemik, kesenjangan ekonomi yang lebar, dan polarisasi sosial adalah tantangan konstan. Interferensi asing dan penyebaran disinformasi semakin memperkeruh suasana. Meskipun demikian, semangat untuk berpartisipasi dan memperjuangkan pemerintahan yang lebih baik tetap menyala di kalangan masyarakat. Konsolidasi demokrasi memerlukan penguatan institusi, pendidikan politik yang inklusif, penegakan hukum yang adil, dan media yang bertanggung jawab, demi memastikan bahwa "kerakyatan" sejati benar-benar terwujud, bukan sekadar janji kosong di bilik suara.